Selasa, 19 Juni 2012

Yang Lidah pun kaku...


Jika sebagai rindu, maka rindu ini mengguritai hatiku, mengakar kuat dalam jantung dan berdegup menderu saat sesekali --hanya sesekali-- ku tatap mata sayu Bapak dalam mimpi, bila sedetik waktu aku diberi kesempatan bertemu dengannya, maka izinkan aku berbisik ditelinga lelaki teguh itu, aku rindu...

Engkau kawanku... masihkah dirimu dimarah ayahmu? masihkah ditelpon dia mengatur - atur apa yang harus kau lakukan, apa yang harus kau beli atau kemana harus kau melangkah? masih kah ayahmu mendampingimu saat kau akan pergi kuliah?

dan kau malu, dan kau sesak, dan kau muak? pada caranya mengaturmu?

Bila ibu seringkali menelponmu tak kenal waktu, yang sering pula kau tak pedulikan, maka ayahmu (mungkin) jarang menelponmu bahkan hanya sekedar menanya kabar, padahal andai kau tatap lurus mata letih senja nya... ada kerinduan, ada rasa takut kehilangan, tapi lidahnya kaku untuk berkata "anakku, aku rela mati untuk mu"

ya, mungkin itu terdengar norak bila pacarmu yang berkata, tapi, bagi ayah, kata itu tak sesederhana kala akan terlontar dari lidahnya... cinta tak pernah sederhana dalam jiwa yang penuh lelah itu, belasan tahun menjagamu... tapi dia tak pernah sanggup mengatakannya, hanya sekedar usapan lembut...tanpa kecupan hangat layaknya ibu.

Kawan, Lelaki yang kini membuatmu marah, muak, kesal, lelaki itulah yang telah berjanji saat memandang bulat matamu, mendengar tangis teriakmu, bahkan jauh sebelum engkau dilahirkan, saat engkau masih berupa janin,... lelaki itu sudah berjanji, menyerahkan apa yang bahkan belum dimilikinya, melakukan yang bahkan dia sendiri belum sanggup, untuk mu, untuk kebahagiaanmu... dan kini dengan janji itulah dia mencoba mengajakmu memandang dalam pandangannya, untuk air mata yang tidak pernah dialirkannya, untuk senyum yang tak pernah diukirnya... dia mengajakmu menjadi bahagia..

Salahnya hanya satu, dia tidak mengerti hidupmu... maka mengapa tidak kau saja yang mencoba mengerti hidupnya, yang seluruhnya telah diserahkan padamu...

Kawan, bila aku memiliki seluruh dunia dan Tuhan memintaku untuk menyerahkan pada Nya dengan tukaran memandang wajah ayahku sekaliiii saja, saat ini... aku serahkan, hanya untuk berbisik, hanya untuk berbisik... Bapak, aku rindu...

Maka, untukmu yang masih bisa merasa kesal, marah, sesak dan muak pada ayahmu, beruntunglah kau, karena kau masih bisa memandang wajah kesal dan mata tegarnya... 

sedang aku.. bahkan dalam mimpi pun tak tentu aku bertemu...

Bapak,  aku rindu...